Dari Payungi untuk Indonesia: Diskusi Terpumpun Dorong Masjid Inklusif Bagi Disabilitas, Anak, dan Lansia

Kota Metro, 17 Agustus 2025 – Peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Kota Metro, Lampung, tidak hanya dirayakan dengan semangat kebangsaan, tetapi juga ditandai dengan lahirnya gagasan besar yang berpotensi menjadi tonggak baru peradaban. Sebuah Diskusi Terpumpun Pengembangan Masjid Inklusif Bagi Disabilitas, Anak, dan Lansia diselenggarakan di Disabilitas Corner Payungi, menghadirkan para akademisi, penggerak masjid, komunitas disabilitas, hingga pendamping.

Kegiatan ini digagas oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), serta mendapat dukungan dari Aliansi PTRG, Disabilitas Corner Payungi, Wes Payungi, dan para penggerak Payungi Kota Metro.

Hadir sebagai narasumber utama:

  • Dr. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, M.S.I – Dosen Program Studi Kajian Gender SKSG Universitas Indonesia sekaligus Pengurus DMI.
  • Dr. Maria Ulfha Anshor, M.S.I – Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia.
  • Dr. Ida Rosyidah, M.A – Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
  • Prof. Dr. Mufliha Wijayanti, M.S.I – Dosen UIN Jurai Siwo Lampung.
  • Elfa Murdiana, M.Hum – Dosen UIN Jurai Siwo Lampung.

Dalam pemaparannya, Dr. Iklilah menekankan bahwa masjid inklusif adalah wujud nyata Islam sebagai rahmatan lil alamin. “Masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat peradaban yang harus membuka ruang setara bagi siapa pun: penyandang disabilitas, anak-anak, maupun lansia. Inilah esensi masjid yang ramah, adil, dan manusiawi,” tegasnya.

Senada, Dr. Maria Ulfha Anshor menambahkan bahwa gerakan ini harus menjadi agenda nasional. “Sudah saatnya masjid di Indonesia hadir dengan wajah inklusif. Masjid yang memberi ruang aman, nyaman, dan berdaya bagi semua jamaah akan memperkuat persatuan umat dan bangsa,” ujarnya.

Diskusi berlangsung hangat dan penuh antusiasme. Para peserta dari kalangan disabilitas menyampaikan pengalaman nyata tentang hambatan yang masih mereka temui di masjid, baik akses fisik maupun fasilitas pendukung ibadah. Masukan tersebut menjadi refleksi penting bagi penggerak masjid untuk membangun kebijakan dan praktik yang lebih inklusif.

Prof. Mufliha Wijayanti menegaskan bahwa inklusivitas bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan zaman. “Masjid akan semakin hidup bila mampu merangkul keberagaman jamaahnya. Inilah fondasi solidaritas sosial yang menguatkan bangsa,” paparnya.

Kegiatan ini ditutup dengan komitmen bersama untuk menjadikan Payungi Kota Metro sebagai percontohan pengembangan masjid inklusif di Lampung, sekaligus mendorong replikasi gerakan di berbagai daerah Indonesia.

Bagi para peserta, diskusi ini bukan hanya ruang bertukar pikiran, tetapi juga energi baru untuk menggerakkan masjid sebagai pusat peradaban inklusif yang benar-benar melayani semua kalangan. Dari Kota Metro, semangat ini diharapkan menggema ke seluruh Nusantara. (Red)