Bangka Belitung; Laut merupakan salah satu anugerah alam yang menyimpan banyak manfaat bagi kehidupan seperti oksigen yang kita hirup, protein yang kita konsumsi, hingga menjadi rumah bagi ribuan spesies laut. Bagi masyarakat pesisir, laut bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga warisan budaya yang telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kini laut di Kepulauan Bangka Belitung yang dahulu dikenal dengan kejernihan air birunya mulai kehilangan pesonanya. Air yang dulu tenang dan indah kini keruh oleh sedimentasi, akibat dari aktivitas pertambangan khususnya penambangan timah di laut yang menggunakan kapal isap. Aktivitas ini tidak hanya mengancam kelestarian ekosistem laut, tetapi juga menggerus kesejahteraan masyarakat pesisir.
Penambangan dengan kapal isap merusak dasar laut secara langsung, menimbulkan sedimentasi luas yang mengganggu kehidupan bawah laut. Ekosistem seperti terumbu karang dan padang lamun menjadi korban utama. Padahal, padang lamun berperan penting sebagai produsen primer, tempat berlindung, dan sumber makanan bagi berbagai biota laut. Terumbu karang pun menjadi pelindung alami pantai sekaligus rumah bagi banyak organisme laut serta bernilai ekonomi bagi nelayan. Kerusakan ini bahkan menjalar ke ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, yang terdampak oleh aliran lumpur serta perubahan garis pantai. Akibatnya, sistem penyangga kehidupan pesisir turut terganggu.
Hanisa selaku pengurus Yo’ Kawa Babel, menjelaskan bahwa krisis lingkungan di Bangka Belitung sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Mengacu pada Dokumen Lingkungan Hidup Provinsi tahun 2023, luas lahan kritis dan sangat kritis mencapai 167.104 hektar sebagian besar akibat tambang ilegal yang terus meluas tanpa kontrol yang ketat. Di laut, sekitar 5.270 hektar terumbu karang rusak, dan tutupan karang hidup di perairan Pulau Bangka hanya tersisa sekitar 33%. Padang lamun juga mengalami penurunan drastis, dengan tutupan di bawah 29% di sejumlah wilayah. Dampaknya bukan hanya ekologis, tetapi juga sosial-ekonomi. Nelayan kehilangan area tangkap yang berdampak pada penurunan pendapatan. Tak jarang pula konflik terjadi antara masyarakat desa pesisir dan korporasi tambang, seperti yang pernah terjadi di beberapa kawasan perairan. Tragisnya, masyarakat yang terdampak seringkali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi, banyak dari aktivitas pertambangan yang justru dilakukan secara ilegal tanpa izin lingkungan yang sah, namun tetap dibiarkan berlangsung di ruang laut yang seharusnya dijaga, Sabtu (12/07/2025).
Sebagai generasi muda yang tumbuh di wilayah pesisir, saya menyadari bahwa tambang timah memang telah menjadi bagian dari sejarah ekonomi Bangka Belitung, bahkan memberikan kontribusi pada tingkat nasional. Namun, kita tidak boleh hanya terpaku pada sisi manfaat ekonomi semata. Di baliknya, ada kerusakan lingkungan yang serius, hilangnya keanekaragaman hayati, dan terganggunya ruang hidup masyarakat. Terlebih, praktik pertambangan ilegal yang tidak bertanggung jawab semakin memperparah kondisi ini karena selain merusak alam, juga mengabaikan hak dan suara masyarakat,” katanya.
Jika tidak dikelola dengan bijak, masa depan ekosistem kita terancam. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 14 tentang ekosistem laut dan poin 1 tentang pengentasan kemiskinan, bisa jadi hanya sebatas wacana tanpa implementasi nyata. Sebagai pemuda dan agen perubahan, saya merasa berkewajiban menyuarakan bahwa “laut bukan untuk ditambang, melainkan untuk dijaga.” Melalui komunitas, riset ilmiah, edukasi, dan gerakan sosial lingkungan, kita bisa turut serta menjaga laut bukan hanya menjadi penonton dari kehancurannya. Inilah yang kami upayakan di Yo’Kawa Babel, organisasi kepemudaan yang memadukan semangat pelestarian lingkungan dengan nilai-nilai kearifan lokal,” katanya.
Laut bukan warisan nenek moyang yang bebas dieksploitasi, melainkan titipan yang harus dijaga demi generasi mendatang. Jika hari ini kita gagal melindunginya, maka yang akan tersisa hanyalah cerita tentang kerusakannya. Kini saatnya kita memilih jalan yang lebih bijak: membangun tanpa menghancurkan, dan menambang tanpa melupakan masa depan. Tambang ilegal bukan solusi jangka panjang ia adalah ancaman bagi keberlanjutan yang harus kita lawan bersama, “harap Hanisa. (*)