Reputasi versus Oligarki

Madani News – Melihat konstelasi Pilgub Lampung hingga akhir Mei 2024, sepertinya persaingan akan mengerucut pada tiga hingga empat pasangan calon.

Informasi dari berbagai media menunjukkan kemungkinan besar Ketua DPD Gerindra Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, akan berpasangan dengan salah satu kader PKB, seperti dokter Jihan atau dokter Ardito.

Untuk calon lainnya, akan menarik jika Partai Golkar, melalui Arinal Junaidi, bisa berpasangan dengan kader PKS. Melihat peluang yang paling memungkinkan, nama Ketua DPW PKS Lampung, Ahmad Mufti Salim, sangat layak menjadi pilihan utama karena latar belakangnya yang sebagai warga NU dan bersuku Jawa.

Sementara itu, Umar Ahmad diprediksi akan maju dengan menggandeng tokoh NU seperti Bupati Pringsewu 2017-2022, Sujadi Saddat, atau Rektor UIN tiga periode, Prof. Mukri. Tantangan terbesar bagi mereka adalah menentukan mitra partai pengusung.

PDIP, yang memperoleh 13 kursi pada pemilu 2024, masih membutuhkan minimal 4 kursi lagi untuk melaju. Peluang terbesar mitra koalisi PDIP adalah Partai Nasdem, PKB, atau mungkin juga PAN. Skenario paling memungkinkan adalah berkoalisi dengan Nasdem, mengingat PKB dan PAN cenderung bergabung dengan koalisi Lampung Maju yang digagas Gerindra.

Namun, apakah Nasdem rela memberikan kursinya tanpa mengajukan kader terbaiknya? Idealnya, wakilnya adalah kader Nasdem, tetapi mungkinkah Herman HN, Ketua DPW Nasdem, mau menjadi orang nomor dua?

Partai Demokrat yang memiliki 9 kursi, besar kemungkinan akan masuk dalam koalisi Gerindra, PKB, dan PAN. Lalu, bagaimana nasib Hanan Razak yang diisukan sebagai “representasi dari oligarki gula”?

Isu ini muncul karena Hanan dan timnya merencanakan konser musik di 60 titik di 15 kabupaten/kota se-Lampung dengan biaya sekitar 500 juta per titik, totalnya 30 miliar. Padahal, aset dan kekayaan Hanan tercatat sekitar 13 miliar. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang mendanai pencalonannya?

Menilik lebih jauh, jika DPP Partai Golkar memberikan SK resmi kepada Hanan Razak, Arinal Junaidi bisa maju dengan perahu koalisi antara Demokrat dan PAN. Skenario ini juga berlaku sebaliknya jika Golkar tetap mengusung Arinal Junaidi sebagai calon gubernur.

Prediksi ini sangat bergantung pada posisi Arinal setelah purna tugasnya sebagai Gubernur Lampung pada Juni 2024. Jika DPP Golkar tetap mempertahankan Arinal sebagai Ketua DPD Golkar, besar kemungkinan SK DPP untuk pencalonan gubernur tetap jatuh kepadanya. Namun, jika ada dinamika internal yang mengakibatkan Arinal dicopot, SK DPP bisa jatuh ke Hanan.

Inilah realitas pemilu dan pilkada kita dari Aceh hingga Papua. Penentuan pencalonan, kontestasi, dan kemenangan selalu didominasi oleh uang, oligarki, dan para elit di balik layar. Hitung-hitungan akan selalu terkait jumlah kursi, sosok, dan nominal.

Kapan kita akan beranjak dari jebakan ini? Bukankah idealnya dalam setiap perhelatan politik, kriteria, ide, dan reputasi menjadi landasan utama dalam menentukan kandidat dan pemimpin yang tepat?

Memilih pemimpin itu erat kaitannya dengan isu, permasalahan, dan tantangan yang harus dihadapi dalam lima tahun ke depan. Saat isunya sudah mengerucut dan tantangannya terdeteksi, barulah kriteria, reputasi, dan tawaran program serta visi misi diadu secara fair dan terbuka.

Penulis : Imron Rosidi