Penulis : Dharma Setyawan (Payungi University)
Sore nanti semua wilayah yang menyelenggarakan kontestasi pilkada akan memiliki pemimpin baru. Demokrasi membawa semua calon pada mimpi-mimpi besar pembangunan. Tentu hal ini sejalan dengan modal pilkada yang tidak sedikit. Hakikat pertumbuhan ekonomi yang dipahami dengan hadirnya uang dan pembangunan fisik masih menjadi pikiran umum.
Demokrasi padat modal jelas tidak sejalan dengan penambahan ruang terbuka hijau, pertahanan lahan pertanian, menjaga lingkungan hidup, pengelolaan sampah dan mengembalikan lagi ekosistem alam. Warga umumnya juga melihat pembangunan sebagai capaian yang dapat dilihat secara fisik. Padahal dari pembangunan beton-beton miliaran itu warga tidak mendapatkan efek langsung ekonomi maupun ekologis.
Ekonomi gotong royong jelas tidak sejalan dengan rezim beton ini. Jadi legacy seorang walikota yang memimpin 5 tahun dengan bangunan-bangunam beton itu semakin meminggirkan hak-hak minoritas. Beberapa kota jembatan flyover banyak mematikan ekonomi pedagang disekitarnya. Pembanguan gedung di tengah kota yang semakin menambah kemacetan, dan kegagalan membangun ekosistem ekonomi dari ruang pinggiran.
Rakyat dapat apa dari ini semua? Taman yang sudah hijau ingin diubah ini dan itu, lapangan olahraga yang malah berubah jadi semrawut, wisata berbasis alam yang tidak mengakomodir pembangunan berbasis bahan alam, fasilitas wisata yang tidak menguntungkan banyak warga, pasar yang tidak ada revitalisasi budaya seni dan akhirnya rezim rente yang selalu mencari ujung dari setiap biaya pembangunan. Demokrasi padat modal ini akan terus terjebak pada pengembalian modal bukan pada penumbuhan ekosistem ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Jika tumbuh dimaknai dengan perspektif lain, uang bisa kita singkirkan sementara dari pikiran-pikiran instan. Memulai dari penyelamatan kembali ruang terbuka hijau, membuat kampung tematik berbasis tanaman buah dan sayuran, memberi otonomi RT dan RW untuk difasilitasi lebih besar, perkecil jumlah dinas, dorong birokrasi turun mendampingi perubahan pada tiap kelurahan.
Di Metro misalnya, APBD 1 Triliun selama ini hanya dinikmati oleh birokrasi itu sendiri. Menggerakkan sektor ekonomi lokal harus mendayagunakan kekuatan lokal untuk menumbuhkan. Masa pandemi banyak program yang bisa dijalankan dengan pemberdayan. Mempercantik ruang berbasis RT dan RW tentu dengan konsep tematik dan lebih ekologis. Contoh Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanian yang seharusnya seiring dan sejalan. Selama 5 tahun berlalu, tidak ada gagasan baru, membuat kampung alpukat, kampung durian misalnya. Kalau itu dilakukan setiap rumah akan panen buah-buahan. Dinas Pasar dan UMKM, tidak peduli dengan bentuk pasar yang kumuh dan meminggirkan pedagang kecil. Kenapa bisa demikian, karena dalih anggaran terbatas membuat mereka tidak mau bergerak.
Dinas kesayangan walikota adalah rezim beton tadi, yang cepat mengembalikan modal bisa jadi adalah dinas PU, Dinas Pariwisata, Dinas yang anggarannya diperbesar untuk membangun fisik bukan membangun mental pemberdayaan. Selama pembangunan beton dipahami untuk menumbuhkan ekonomi keliru besar. Pembangunan ekonomi harus tumbuh dengan Pentahelix kolaborasi ABCGM (Akademisi, Bussines, Community, Goverment, & Media). Pembangunan beton tidak keliru, jika mengakomodir estetika lingkungan dan mempertahankan nilai kebudayaan (berkaca pada Tulang Bawang Barat).
Jika menyadari pergerakan warga bisa lebih murah dan sustainable, mengapa memilih jalur instan meminggirkan hak-hak warga. Bahkan birokrasi berimajinasi sendiri tanpa bisa dipahami oleh warga sekitar. Membangun kios wisata padahal minim pengunjung dan tidak ada cindera mata. Membangun pusat informasi wisata dipelosok ujung, padahal pusat itu seharusnya di tengah atau berbasis kolaborasi dengan lembaga pendidikan. Memusuhi pedagang kecil, dan atas nama menolak kumuh dan memilih mengundang pedagang besar menarget PAD.
Sudah saatnya calon walikota menyadari demokrasi padat modal membuat mereka berpura-pura. Bahkan sudah banyak dari mereka untuk mengembalikan modal berakhir jadi tahanan KPK. Ekonomi yang tidak tumbuh merata akan menghasilkan banyak persoalan kriminalitas, politik identitas, dan lainnya. Menata ulang pertumbuhan dari ruang agraris dan tidak meninggalkan ekosistem alam menjadi pilihan. Banyak orang sudah bosan dengan gedung-gedung megah, mereka kembali melihat yang klasik, ndeso dan hijau. Maka akan selalu menjadi trend wisata alam, sekolah alam, kampung ekologis, urban farming, ecocity dan lainnya. Selama masih ada yang menanam, manusia akan cukup kebutuhan pangan, setelah itu baru berkebudayaan.
Foto: Desa Panggung Harjo Sewon Bantul dan Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi).