LGBT dan Keresahan Sosial Kita: Antara Realitas, Regulasi, dan Tanggung Jawab Moral

Opini, Pendidikan1257 Dilihat

Oleh: Wakil Ketua ICMI Orda Kota Serang dan Sekretaris GPMI Provinsi Banten, Indra Martha Rusmana

“Pelangi” Fenomena yang Tidak Bisa Diabaikan

Beberapa waktu terakhir, publik digegerkan oleh serangkaian penggerebekan pesta seks sesama jenis yang dilakukan secara terang-terangan di sejumlah hotel berbintang di Jakarta.

Kasus terbaru pada 29 Juni 2025 memperlihatkan bagaimana perilaku menyimpang itu tidak lagi bersifat diam-diam, namun sudah melibatkan banyak orang dan berlangsung dalam skema terorganisir.

Sebagai bagian dari masyarakat, tentu kita tidak bisa tinggal diam melihat degradasi moral yang terjadi secara terbuka, dan berpotensi membawa pengaruh negatif, khususnya bagi anak-anak muda kita. Fenomena ini bukan hanya soal hak individu, tapi juga menyangkut tatanan sosial, moral, dan masa depan bangsa.

Kajian Hukum: Batas Antara Hak dan Pelanggaran

Penting untuk ditegaskan:

Menjadi LGBT tidak dikriminalkan oleh hukum Indonesia, karena orientasi seksual adalah ranah pribadi.

Namun, ketika perilaku seksual dilakukan di ruang publik, bersifat kolektif, terbuka, dan bermuatan pornografi, maka jelas ada pelanggaran hukum yang harus ditegakkan.

Dalam kasus pesta seks sesama jenis, pelaku dikenakan:

  • Pasal 33 jo Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
  • Pasal 296 dan 292 KUHP (perbuatan cabul, penyediaan tempat untuk asusila)

Hal Ini menjadi pengingat penting: hak individu bukanlah pembenaran untuk merusak nilai-nilai sosial dan melanggar hukum.

Memahami, Bukan Membiarkan

Dalam banyak diskusi psikologi dan pendidikan, telah dijelaskan bahwa identitas seksual terbentuk melalui proses yang kompleks-mulai dari faktor biologis, psikososial, hingga lingkungan. Maka menjadi LGBT bukan sekadar “ikut tren” atau “diajak teman.”

Namun demikian, keresahan masyarakat tidak muncul karena identitas itu sendiri, melainkan karena perilaku yang muncul secara ekstrem dan terbuka, serta adanya upaya sebagian pihak untuk “mengajak”, “memengaruhi”, atau bahkan “menormalisasi” secara membabi buta di ruang publik dan digital.

Kita perlu membedakan antara menghormati keberadaan seseorang dengan latar belakang apapun dengan mengkritisi perilaku terbuka yang melanggar norma dan hukum.

Cara Membentengi Diri dan Keluarga

Sebagai pendidik, aktivis sosial, dan bagian dari masyarakat madani, saya mengajak seluruh keluarga Indonesia untuk tidak reaktif secara emosional, namun aktif secara edukatif dan preventif.

Beberapa langkah konkret yang bisa kita lakukan:

1. Perkuat pendidikan karakter di rumah dan sekolah:

Anak-anak harus tahu siapa dirinya, nilai apa yang mereka anut, dan batas pergaulan yang sehat.

2. Bangun komunikasi terbuka dalam keluarga:

Jangan biarkan anak mencari jawaban dari media sosial yang tidak terkontrol.

3. Literasi digital dan seksualitas yang sehat:

Ajarkan anak cara menyaring konten dan memahami tubuh serta perasaan secara wajar dan bertanggung jawab.

4. Beri ruang bertanya, bukan ruang menghakimi:

Ketika anak bingung dengan identitasnya, tugas kita adalah mendampingi dengan nilai, bukan mengintimidasi dengan stigma.

5. Perkuat nilai agama dan etika moral sejak dini:

Agama bukan alat menghakimi, tapi kompas untuk membimbing dengan cinta dan prinsip.

Penutup: Kita Pro-Kemanusiaan yang Bermartabat

Kita harus berani berkata jujur:

Kita menolak perilaku menyimpang, bukan membenci orangnya.

Dalam Islam maupun dalam nilai-nilai luhur bangsa, kita diajarkan untuk menyampaikan kebenaran dengan hikmah, mendampingi dengan kasih, dan memperjuangkan moralitas tanpa kehilangan akhlak.

Saya, secara pribadi dan sebagai bagian dari ICMI Kota Serang dan Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI) Provinsi Banten, mendorong:

  • Pemerintah untuk tegas menegakkan hukum
  • Keluarga dan sekolah untuk menjadi benteng moral, dan
  • Semua pihak untuk tidak latah dengan tren, tetapi teguh dalam nilai dan visi bangsa

Karena masa depan Indonesia ada di tangan generasi muda yang bukan hanya cerdas, tapi juga berakhlak. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *