Pembangunan Desa dari Pinggir Meningkatkan SDM yang Berkualitas

Penulis : Mustika Edi Santosa

“Sersan Satu, Serius, Santai, Satu Tujuan”, Drs. Firdaus, M.M (Kepala Dinas PMK Kab. Lampung Tengah).

Membangun dari pinggir – desa – setidaknya harus memiliki kekuatan untuk berani meningkatkan kualitas dari sumberdaya manusia (SDM) lokal yang ada. Hal yang mestinya diprioritaskan terlebih dahulu olah pemerintah dalam membangun daerah pedesaan.

Salah satu tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesehteraan masyarakat. Kesejahteraan ini meliputi tercukupinya kebutuhan dasar – sandang, pangan, dan papan, akses kesehatan yang mudah dan murah, dan pendidikan yang berkualitas. Tentu, untuk mewujudkan tujuan ini, selain harus membangun infrastruktur yang fungsional, juga perlu menciptakan SDM unggul yang akan menjadi motor penggerak utama di dalamnya. Telebih, SDM memiliki peran vital dalam pelaksaan semua pembangunan. Pasalnya, dalam proses pembangunan, dibutuhkan SDM yang unggul untuk dapat merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembangunan secara efektif dan efesien.

Pada periode kedua Presiden Jokowi menjabat, tidak kurang dari 72 Triliun anggaran Dana Desa (DD) ditransfer oleh pemerintah pusat ke desa setiap tahunnya. Pemerintah berharap dengan adanya DD akan memperlancar dan mempercepat pembangunan di dearah pinggir. Hal ini dilakukan supaya daerah pinggir dapat ‘mentas’ dari masalah-masalah mendasar seperti indeks pembangunan manusia yang rendah, kemiskinan, dan minimnya fasilitas umum yang layak.

Secara tegas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengamanatkan kepada desa bahwa DD diperuntukkan bagi desa dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Sangat jelas, dalam UU ini pemberdayaan masyarakat masuk ke dalam prioritas penggunaan DD untuk mengoptimalkan pembangunan SDM. Tentu amanat ini harus dapat dimaksimalkan dan dilaksanakan oleh pemerintah desa sebagai pemangku kebijakan untuk mentransfer pengetahuan serta melatih warganya untuk berinovasi, berkreasi dan bergerak secara konsisten dalam membangun desa.

Menurut sejarahnya, istilah pemberdayaan berakar dari teori sosiologi Marxis, di mana istilah pemberdayaan dikaitkan dengan komunitas psikologi Amerika yang dimotori oleh Julian Rappaport. Dalam sejarahnya, akar dari teori pemberdayaan berkembang lebih jauh, dikaitkan dengan teori sosiologi Marxis. Secara prinsip, pemberdayaan mengacu pada serangkaian proses sosial yang memungkinkan masyarakat meningaktkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Selain itu juga mendorong terjadinya perubahan paradigma untuk memperluas partisipasi dan pilihan bagi masyarakat sehingga mereka bisa menjadi subyek dari program pembangunan dalam relasi setara.

Program pemberdayaan masyarakat di Indonesia sendiri sebenarnya sudah ada sebelum lahirnya UU Desa di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Maria, Taufik, dan Irfan dalam buku “Mereka yang Terjaga: Birokrat di Balik Gagasan Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia (1994-2014) menyebutkan bahwa sebelumnya ada Progaram Inpres Desa Tertinggal (IDT) di bawah pemerintahan Soeharto, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) di era gonta-ganti presiden pasca-reformasi, serta Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di bawah pemerintahan Presiden SBY. Artinya, setiap presiden selalu membawa program pemberdayaa masyarakat di kepemimpinannya. Tentu ini merupakan upaya yang baik, namun juga bisa menjadi buruk jika program pemberdayaan tersebut tidak dapat diteruskan secara estafet secara baik. Apalagi bila di dalamnya sudah tercampuri oleh kepentingan politik, dapat dipastikan program pemberdayaan yang dibawa tidak akan mampu memberikan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.

Dalam proses pemberdayaan, warga harus ikut terlibat dalam pengambilan keputusan yang bebas dari dominasi dan intervensi dari pihak penguasa, sehingga mereka mampu merespon berbagai perubahan. Oleh karena itu, pelaksanaan pemberdayaan tidak akan menghasilkan output yang maksimal jika kegiatan-kegiatan pemberdayaan hanya sekerdar memenuhi kewajiban atau amanat pembangunan dari UU desa. Sebaliknya, pemerintah desa harus bisa merencanakan dan melaksanakan program pemberdayaan masyarakat yang handal – terukur dan memiliki output yang jelas – agar ke depan dapat tercipta SDM yang unggul – mampu berkreasi, berinovasi, dan bergerak melakukan pembangunan di desa. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *