Penulis Oleh: Hadi Kurniadi
Anggota DPRD Kota Metro Komisi III
Beberapa hari yang lalu, kita terhenyak dengan viralnya pemberitaan di Kota Yogyakarta terkait timbunan sampah yang berada di sudut sudut Kota Yogyakarta. Foto tumpukan sampah yang menggunung di barengi dengan tulisan tulisan yang mengkritik pemerintah Kota Yogyakarta, sampai Srisultan selaku Gubernur Yogyakarta pun terdampak dari pemberitaan di media sosial tersebut. Problem yang muncul di Yogyakarta tersebut dikarenakan Tempat Pembuangan Akhir Sampah ( TPAS ) Piyungan tidak mampu lagi menampung sampah sampah yang ada. Diperkirakan 5000 ton sampah tidak terangkut mengakibatkan banyak sampah yang menumpuk tidak tertangani.
Tentu Yogyakarta tidak sendirian menghadapi problem dan kritikan terkait persampahan. Hampir disebagian kota kota besarpun megalami problem yang sama, sebut saja misalkan DKI Jakarta, Kota Bandung, Bandar Lampung, bahkan juga Kota Metro. Problem persampahan seyogyanya memang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat hingga pemerintah kabupaten atau kota, jika mengacu pada Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagai mana dimaksud didalam undang undang. Disisi lain tidak bijak juga rasanya jika beban terkait persampahan ini hanya di bebankan kepada pemerintah semata, masyarakat selaku produsen sampah pun harus terlibat dan dilibatkan didalam penanggulangan persampahan perkotaan.
Produksi sampah dari tahun ketahun terus mengalami penigkatan, data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke dua dunia dalam hal produksi sampah. Tercatat saat ini lebih dari 69 juta ton/tahun atau 175.000 ton/hari produksi sampah di Indonesia. Dalam sekala kota beberapa data produksi sampah yang dapat di jadikan perbandingan misalkan saja produksi sampah di DKI Jakarta sebesar lebih dari 8.500 ton/hari, Kota Bandung dengan produksi sampah lebih dari 1.594 ton/hari. Kota Badar Lampung memproduksi sampah lebih dari 630 ton/hari, Kota Pringsewu lebih dari 150 ton/hari. Untuk Kota Metro sendiri produksi sampah per harinya telah mencapai angka 110-120 ton/hari. Tentu angka angka itu tidak seutuhnya menggambarkan besaran jumlah sampah secara real. Bisa jadi jumlah sampah secara realnya jauh lebih besar dari data data tersebut. Karena angka angka tersebut adalah angka data sampah yang terangkut dan masuk ke tempat pembuangan akhir sampah. Belum lagi kita bicara sampah sampah yang di buang secara sembarangan oleh masyarakat, di buang ke pojok pojok kota, ke dalam saluran irigasi, dll.
Problem persampahan perkotaan sejatiya adalah problem hulu dan hilir. Hulu adalah sumber produksi sampah yakni rumah tangga, sementara hilirnya adalah Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Dan perlu di catat bahwa semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka produksi sampah akan terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Itulah kenapa setiap daerah harus mampu memprediksi dalam jangka waktu yang panjang agar problem persampahan ini tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Jika kita asumsikan bahwa setiap jiwa atau setiap rumah tangga saja setiap hari memproduksi 1 Kg sampah harian, maka untuk kapasitas kota metro jumlah sampah hariannya bisa dikalkulasi, dari total sampah yang ada dimana 40% sampah yang dihasilkan setiap hari adalah sampah plastik. Ledakan populasi penduduk suatu kota akan dibarengi dengan ledakan produksi sampah perkotaan tersebut. Sementara problem yag dihadapi oleh sebuah kota selalu sama, daya tampung dan daya dukung yang selalu minim dari kapasitas persoalan yang dihadapi. Daya tampung TPAS yang terbatas dan kian berat bebannya serta daya dukung kemampuan manajerial dalam hal ini dinas terkait yang minim dukungan, baik Sumber Daya Manusia, Armada Angkut, sampai kepada dukungan anggaran yang minim. Pemerintah Kota memang harus lebih serius dan berani mengambil Langkah strategis terkait persampahan yang ada di Kota Metro. Bagai mana pun pertambahan jumlah peduduk dan menigkatnya aktifitas masyarakat akan membuat jumlah produksi sampah di Kota Metro akan terus mengalami peningkatan. Dengan luas wilayah yang hanya seluas 73 Km2 serta ditambah usia Tempat Pembuangan Akhir sampah yang telah berusia hampir 40 tahun sudah saatnya Kota Metro melakukan Langkah langkah kongkrit dan strategis jangka panjang untuk mengatasi persoalan tersebut. Suka atau tidak suka problem besar itu akan hadir jika tidak di tanggulangi dan diantisipasi dari hari ini, tentu pristiwa yag terjadi di Yogyakarta tidak kita kehendaki terjadi di kota ini, bagaimana Kota Yogyakarta mengalami darurat persampahan dibalik wajah destinasi wisata yang mendunia di Yogyakarta namum terjadi problem persampahan yang akut dan menghawatirkan.
Problem setiap daerah khususnya perkotaan dalam hal persampahan secara umum relatif sama. Khusus Kota Metro penulis melihat dan mecatat beberapa persoalan mendasar terkait hal tersebut, diantaranya :
Pertama, Keterbatasan Lahan. Tempat Pembuangan Akhir Sampah ( TPAS ) Karang Rejo yang telah berumur Hampir 40 Tahun dan selama ini menampung sampah dengan sistem open dumping rasanya akan mengalami over kapasitas, sementara laju produksi sampah yang masuk ke TPAS saat ini ada diangka 100 ton lebih per hari. Hari ini pun sedikit banyak masyarakat di sekitar TPAS sedikit banyak mulai terdampak persoalan sosial, seperti polusi udara, polusi lingkungan,dll.
Luas TPAS Karang Rejo yag ada saat ini adalah seluas 13,76 Hektar Dengan areal yang sudah di optimalkan seluas 6,5 Hektar dengan sistem open dumping selama hampir 40 tahun, maka areal yang telah di optimalkan tersebut telah mencapai puncak timbunan. Keterbatasa lahan TPAS ini dalam jangka watu kedepan tentunya harus di siasati, megurangi beban sampah yang masuk ke TPAS harus dilakukan sedini mungkin agar beban TPAS menjadi berkurang. Untuk mengurangi beban di TPAS maka pemerintah kota harus mengurangi volume sampah yang masuk ke TPAS setiap hari nya. Artinya sampah sampah yang di kirim ke TPAS adalah benar benar sampah yang sudah tidak dapat lagi di olah atau di optimalkan di masyarakat. Dengan cakupan 22 kelurahan, maka pemerintah kota wajib membuat kelembagaan sosial bersifat formal di setiap kelurahan untuk menekan sampah yang masuk ke TPAS sebelum diangkut oleh armada sampah yang beroperasi.
Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana serta teknologi pengolahan sampah. Tidak dapat dipungkiri, saat ini keterbatasan sarana dan prasarana terlebih tekologi sedang terjadi di sistem persampahan kota metro, walaupun arah menuju perbaikan telah tampak, dan sedang terus diupayakan namun secara jujur dalam tahap kebijakan yang fundamental terkait hal tersebut belum nampak terlihat. Sistem TPAS yang masih menggunakan sistem open dumping sampai saat ini menunjukkan hal tersebut. Sistem ini adalah sistem yang sangat sangat sederhana, dimana sampah sampah yang diangkut langsung di buang dan ditumpuk di TPAS. Dengan sistem open dumping ini tentu banyak mengalami kerugian, polusi udara, polusi lingkungan, potensi menimbulkan penyakit menular, dls. Apalagi jika tumpukan tumpukan sampah tersebut di biarkan terbuka selama bertahun tahun, tentu potensi menimbulkan “bencana” lingkungan akan semakin besar. Belum lagi kita bicara ketersediaan armada sampah yang telah berumur dan butuh peremajaan, disisi jumlah armadapun masih terkendala sehingga daya jangkau dan daya angkutnya menjadi kendala. Disisilain bak bak penampung sampah masih sangat terbatas jumlahnya membuat banyak sampah yang masih berserakan. Disisi lain upaya pemerintah kota dalam meningkatkan sarana dan prasarana di bidang persampahan dari hulu kehilirnya belum tampak terlihat jelas, di priodesasi kepemimpinan saat ini pemerintah kota masih terfokus pada peningkatan sarana dan prasarana di TPAS Karang Rejo. Peningkatan sarana dan prasarana tersebut tidak hanya berupa fisik untuk saat ini, tetapi juga produk kajian lingkungan ( Dokumen ANDAL TPAS, UKL-UPL, RPPLH-KLHS dll). Prodak kajian ilmiah ini sangat dibutuhkan untuk melakukan pengembangan TPAS Karang Rejo kedepan agar penanganan sampah secara keseluruhan di kota metro dapat di tangani di hilirnya.
Ketiga, Dukungan Anggaran yang belum maksimal, problem ini hampir dialami oleh semua daerah baik kabupaten maupun kota. khusus daerah perkotaan rasa rasanya ketersediaan anggaran yang real untuk mendukung kota bebas sampah masih sangat terbatas. Anggaran real disini adalah anggaran yang dimasudkan memang yang berkaitan dan bersentuhan dengan persampahan bukan global anggaran yang berkaitan dengan suatu dinas atau bidang terkait. Dukungan anggaran yang memadai dari pemeritah kota, menunjukkan tingkat keseriusan pemerintah kota dalam menanggulangi persoala sampah. Karena anggaran yang cukup akan membuat penanganan persampahan di perkotaan menjadi lebih baik. Hal ini pun menjadi sangat relevan, mengingat retribusi persampahan di kota metro merupakan salah satu penyumbang PAD Kota Metro. Besar kecilnya dukungan anggaran untuk mengentaskan persoalan sampah memang menjadi sangat relative. Tetapi wujud keseriusan suatu pemerintah dapat dilihat dari dukungan anggaran yang dialokasikan.
Keempat, Potesi Ekonomi Sirkular, sampah tidak hanya menyimpan persoalan. Dibeberapa daerah sampah justru menjadi potensi ekonomi yang dapat diandalkan. Gagasan ekonomi sirkular didalam persampahan bukanlah gagasan baru. Gagasan ini mengangkat, bagaimana sampah yang selama ini diasosiasikan sebagai persoalan justru menyimpan potensi yang positif. Potensi sampah sebagai potensi ekonomi seyogyanya dapat ditangkap dari awal, dimana sampah tersebut di hasilkan. Itulah kenapa proses penanggulangan persoalan sampah ini harus di selesaikan dari hulu ke hilir. Dari hulu adalah dari asal sampah sampah itu berasal. Dari data yang dimiliki sampah sampah tersebut sebagian besarnya berasal dari rumah tangga. Sementara hilirnya adalah Tempat Pembuangan Akhir Sampah ( TPAS ). TPAS adalah muara akhir yang digunakan untuk membuang sampah sampah yang tidak dapat di optimalkan lagi di tingkat produsen sampah. Seperti yang di jelaskan di atas, bahwa potensi ekonomi sirkular ini dapat dijalankan di tingkat kelurahan. Artinya sampah sampah yang ada di setiap kelurahan tersebut sebelum di buang ke TPAS sudah dioptimalkan di tingkat kelurahan, baik sampah organik maupun sampah non organik. Sampah organik dapat di kelola menjadi sumber usaha baru seperti kompos baik cair maupun padat, atau produksi magot, dan lain sebagainya. Semetara sampah non organik terutama plastik dapat di kelola dengan jenis usaha baru selama fasilitas pengelolaannya di siapkan oleh pemerintah daerah.
Kelima, Swastanisasi pengelolaan sampah dengan pegawasan ketat. Gagasan ini sebenarnya bukalah gagasan baru. Melihat kinerja sektor swasta yang lebih produktif dan kompetitif sangatlah layak jika gagasan ini di terapkan dengan tetap berpegang pada regulasi dan pengawasan yang ketat. Pihak swasta diberikan target capaian PAD yang tinggi dan rasioal, semua kebutuhan perlengkapan persampahan menjadi tanggung jawab swasta termasuk biaya pemeliharaan dan perawatan, tentu akan sangat mengurangi beban belanja oprasi APBD Kota metro. Tetapi memang perlu dilakukan kajian kajian agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini.
Bagaimanapun kebijakan akhir terkait problem persampahan di daerah baik kabupaten maupun kota berada pada kebijakan pemimpinnya, dalam hal ini kepada daerah. Yang jelas worning alarm tanda bahaya harus sudah di bunyikan oleh kepala daerah untuk dapat membuat strategi jangka panjang dalam hal pengelolaan sampah tersebut, agar sampah tidak menjadi momok yang menakutkan di kemudian hari bagi sebuah kabupaten maupun kota. (*)